Pidato Islam dan Problem Kepemimpinan
Oleh : KH Syihabuddin A Muiz, Direktur Pondok Pesantren Tahfizhul Alquran Isy Karima, Karangpandan, Karanganya
Krisis kepemimpinan, itulah yang dikala ini menjadi tren seiring dengan semangat demokratisasi di seluruh negara di segenap penjuru dunia termasuk Indonesia.
Oleh : KH Syihabuddin A Muiz, Direktur Pondok Pesantren Tahfizhul Alquran Isy Karima, Karangpandan, Karanganya
Krisis kepemimpinan, itulah yang dikala ini menjadi tren seiring dengan semangat demokratisasi di seluruh negara di segenap penjuru dunia termasuk Indonesia.
Padahal kepemimpinan ialah masalah yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya seorang pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) akan bisa diwujudkan kemaslahatan bersama. Oleh alasannya ialah itu, benar pula bahwa menentukan pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam) biar terwujud kemaslahatan bersama dalam masyarakat ialah sebuah kewajiban.
Becermin dari negara ideal produk Rasulullah SAW, indikator sebuah kepemimpinan dikatakan gagal atau tidak, bergotong-royong sanggup dilihat dengan pendekatan sederhana. Kepemimpinan dipandang gagal ketika negara tidak bisa memenuhi dan menjamin hak-hak warga negaranya-seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, dan hak dasar hidup insan semisal sandang dan pangan; menegakkan supremasi aturan sehingga terwujud apa yang disebut sebagai clean government dan good governance. Demikian pula sebaliknya.
Jika ditelaah lebih mendalam, setidaknya terdapat dua faktor yang mengakibatkan gagal-tidaknya kepemimpinan khususnya di Indonesia.
Pertama, person (individu) yang memegang kendali kepemimpinan tersebut. Sangat mungkin, stagnannya negara ini alasannya ialah dipimpin oleh individu yang tidak qualified memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Sosok otoriter, korup, manipulatif, anti kritik, hipokrit, arogan, tamak, tidak amanah, lemah (bersedia dikooptasi oleh negara asing), dan tentunya kedap terhadap kondisi rakyat yang dipimpinnya mungkin sudah pernah memimpin bangsa ini.
Konsekuensinya keterpurukan dan karut marut terjadi di sana sini. Memang, pada karenanya masuk akal jikalau kebanyakan masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang saleh secara individu, higienis dan mempunyai huruf berpengaruh dalam memimpin (strong leadership). Alasannya, tidak mungkin korupsi diberantas oleh seorang koruptor; hanya orang higienis dan kuatlah yang bisa memberantas tindak korupsi, terutama di kabinet dan departemennya.
Akan tetapi, jikalau korupsi dan segala bentuk penyelewengan hanya sanggup diberantas oleh seorang individu higienis an sich, tanpa melibatkan perubahan dan santunan yang lain, contohnya sistem-ideologi masyarakat, sepertinya pendapat ini perlu diuji terlebih dulu. Namun demikian, perilaku terpuji seorang pemimpin mirip rifq (lemah lembut dan santun), mubasyyir (penggembira), dan amanah secara pribadi akan menumbuhkan perilaku percaya masyarakat.
Kedua, sistem sekuler yang diterapkan. Sistem ini menihilkan tugas agama dari kehidupan. Agama menjadi domain privat yang mengurusi sebatas moral, ritual dan kewajiban individual. Kalaupun bersinggungan dengan politik, hanya sebatas nilai substansialnya contohnya kejujuran, amanah, keadilan, kesejahteraan dan semisalnya. Walhasil, sistem sekuler-demokrasilah yang sesungguhnya berkontribusi secara penuh terhadap gagalnya sebuah kepemimpinan.
Jika pemimpinnya orang higienis dan saleh, namun ia menjalankan sistem yang rusak, tentu hasilnya pun akan rusak pula. Persis menyerupai seorang pembalap F1 tapi ia harus memakai kendaraan butut dan sirkuit yang becek dan bergelombang. Karena itu, orang yang qualified dan higienis tetapi menjalankan sistem sekuler yang rusak ialah menyerupai a good man in a wrong place (orang sempurna di kawasan yang salah).
Sistem sekulerlah yang banyak menghasilkan kebijakan yang merugikan publik. Jangankan untuk negeri-negeri muslim, yang secara fitrah dan fikrah sudah terang bertentangan. Di negara asalnya saja, AS dan Barat, sistem sekuler ini hanya mengakomodasi kalangan borjuasi dan pemilik modal. Kalangan kelas bawah tetap hidup dalam kesengsaraan. Singkatnya, kebijakan publik tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang. Oleh karenanya, di AS muncul istilah The golden rule of democracy is those who have golds are ruler (Aturan emas demokrasi ialah siapa saja yang punya emas (uang) dialah penguasa).
Cara pandang
Sistem sekulerlah yang bisa mengubah cara pandang seorang pemimpin nasional terhadap politik. Seorang pemimpin yang alim, amanah, cerdas, akomodatif, dan jujur tidak mungkin menyejahterakan rakyatnya apabila memakai sistem dan aturan ini. Sistem sekulerlah yang sudah lebih dari setengah masa mewarnai gaya kepemimpinan nasional Indonesia. Hasilnya, meski 63 tahun Indonesia merdeka dan sudah enam kali ganti pemimpin, hasilnya ialah sama, yaitu korupsi, kolusi, kemiskinan, dan keterpurukan di banyak sekali sektor tetap menjadi bab integral dari wajah Indonesia
Berpijak dari hal ini, untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan bisa menyejahterakan rakyatnya-dalam arti sesungguhnya-dibutuhkan perubahan terhadap dua faktor di atas. Individu yang akan memimpin harus dipastikan kemuslimannya dan kapabilitasnya, benar-benar mempunyai ketangguhan, kekonsistenan, dan kekuatan dalam memimpin. Sistem yang harus diterapkan ialah sistem yang nyata-nyata higienis (Islam), tunduk pada aturan Ilahiah dan sesuai fitrah manusia, tentu saja santunan dari komponen masyarakat berupa ketaatan dan muhasabah (kontrol) yang menjadi pilar penjaga sistem harus ada. Terakhir, independen, dalam arti, tidak sanggup diintervensi dan didominasi oleh negara asing.
Pemimpin yang baik ialah pemimpin yang dicintai dan diridai oleh rakyatnya. Demikian juga sebaliknya, ia juga mengasihi dan meridai rakyatnya. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk menciptakan sinergi bagi peningkatan ketakwaan di sisi Allah. Kondisi ini bisa terwujud ketika tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan rakyatnya.
Mereka berdua sama-sama berharap sanggup menjalankan seluruh sistem aturan Islam secara total. Keduanya sama-sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi SAW. bersabda, sebagaimana dituturkan ‘Auf bin Malik al-Asyja’i,” Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mengasihi kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun melaknati kalian,” (HR Muslim).
Jika poin-poin di atas tidak sanggup diwujudkan, kepemimpinan berpengaruh dan berwibawa yang bisa membawa negara ke arah yang baik masih akan menjadi sebatas wacana dan angan-angan semata. Wallahu a’lam bi ash-shawab -r
Advertisement